Saya kurang paham sebenarnya apa perbedaan orang Makassar dengan orang Bugis? karena rata-rata orang Makassar yang saya jumpai mengakui suku Bangsa Bugis, yakni suku bangsa yang terkenal sebagai pelaut ulung dengan kapal Phinissi-nya. Namun ketika saya jalan-jalan ke Ujung Pandang atau Makassar, maka respon yang sama terima berbeda sama sekali. Mereka sering menegur saya ” Tidak semua orang Makassar itu orang Bugis”, ada 4 klasifikasi kelompok Suku Bangsa di Sulawesi Selatan. Bugis dan Makassar merupakan klasifikasi yang berbeda. Jujur, saya bingung cara membedakannya, tapi kalau mereka ngomong seperti itu ya mau bagaimana lagi kan?.
Saya tinggal di Pulau Papua tapi bersuku Bangsa Batak, saya banyak mengenal orang Makassar di Papua dan rata-rata mereka itu sukses di sini. Hampir semua saya lihat mereka mempunyai usaha yang mewah dan hampir menguasai lini perdagangan di Kota-kota besar di Papua seperto Manokwari, Sorong, Merauke, Jayapura dan sebagainya. Meskipun ada juga dari mereka yang berprofesi sebagai tukang ojek, penjaga warung makan, tukang bengkel dan sebagainya tetap saja saya kagum dengan kegigihan mereka mau merantau jauh meninggalkan kota yang nyaman dan maju di Makassar ke Provinsi yang masih jauh dari pembangunan.
Rata-rata orang Makassar ngomongnya hampir sama dengan orang Timur Indonesia lainnya. Khas logat timur ini juga sangat berbaur dengan logat khas di Papua, oleh karena menurut saya kenapa orang Makassar cepat beradaptasi di Papua, salah satunya karena logat khas tersebut. Tapi jangan salah, rata-rata teman saya yang dari Makassar di Jakarta tidak mempunyai logat seperti itu, apa mereka sudah lama meninggalkan kampung halamannya atau mereka mampu menyimpan logat khasnya, saya juga tidak tahu.
Salah satu makanan yang sering dijumpai di Papua adalah Coto Makassar, saya sempat berdebat dengan teman-teman bahwa Coto dan Soto itu adalah benda yang sama hanya pelafalan bahasa saja. Namun setelah dijelaskan sama orang Makassar bahwa Coto itu berbeda dengan Soto, bedanya Coto lebih pakai kelapa dan isinya lebih “berani” daripada Soto. Coto Makassar beserta Sop Konro dan Sop Saudara pernah saya cicipi, rasanya sesuai dengan lidah saya sebagai orang Sumatera, karena pedas dan bahan utamannya daging. Tapi saya heran kenapa kalau makan Coto Makassar selalu tidak dibumbui langsung dengan garam; garam sendiri disediakan di meja untuk dicampur sendiri oleh pelanggan sesuai dengan takaran pilihannya. Saya kurang setuju sebenarnya dengan teknik masak seperti ini, karena menurut saya memasak itu sulit karena teknik mencampur garam yang sesuai itu hanya segelintir orang saja yang bisa sehingga masakannya gurih dan enak di lidah. Kalau saya, jujur kuang mengerti berapa takaran garam pas yang saya harus masukan ke dalam Coto Makassar saya, selalu saja berlebih atau kurang.
Salah satu Sekuriti di Kantor saya di Kota Manokwari adalah seorang Makassar, dia sering sekali menceritakan bagaimana dirinya harus merantau meninggalkan kampung halaman mengililingi Indonesia mulai dari tinggal di Bekasi selama 2 tahun, Medan 2 Tahun, Kalimantan 3 tahun, dan akhirnya menetap di Papua selama hampir 5 tahun. Saya kagum dengan apa yang dia lakukan, karena pada dasarnya dia berani bekerja apapun dan membawa serta keluarganya ke tempat yang belum pernah dia kunjungi dan mencari nafkah dengan gigih. Jujur, kalau saya mengakui bahwa saya kurang bisa melakukan seperti itu, apalagi dengan modal nekat. Ketika ditanya mengenai alasannya memutuskan merantau ke Papua, dia menjawab karena peluang di sini masih banyak namun orang-orang luar menolak ke sini karena sudah takut duluan ketika mendengar kata “Papua”, itulah salah pemahaman tentang pulau ini sudah begitu mencekam ditelinga orang orang Indonesia pada umumnya.
Bersambung.